SURABAYA - Di tengah maraknya pembahasan mengenai isu penundaan Pemilu 2024, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI, Luhut Binsar Panjaitan, mengklaim sebuah big data terkait dengan isu ini. Ia menyatakan bahwa di media sosial, sebanyak 110 juta masyarakat Indonesia mendukung penundaan Pemilu 2024.
Menanggapi isu ini, dosen program studi Teknologi Sains Data UNAIR, Muhammad Noor Fakhruzzaman SKom MSc menekankan pentingnya kehati-hatian dalam menggunakan data dari media sosial untuk pengambilan keputusan yang sifatnya strategis. “Data yang diperoleh dari media sosial lebih berisiko digunakan dalam pengambilan keputusan yang sifatnya general, ” ungkap Ruzza senin (21/3/2022).
Hal itu, sambung Ruza, karena data yang sifatnya kualitatif, validitas (data dari media sosial, red) tidak bisa diuji dengan penghitungan statistik kuantitatif. Ruzza mencontohkan, salah satu media sosial yakni Twitter, validitas data tidak dapat dihitung secara kuantitatif karena tidak memiliki item alat ukur.
“Hal ini mengingat data Twitter merupakan percakapan dinamis yang maknanya sulit dikuantifikasi, ” jelas Ruzza.
Ruzza juga menjelaskan bahwa di akun media sosial Twitter datanya berbentuk kualitatif. Satu-satunya cara untuk menganalisis datanya, lanjutnya, harus mengecek setiap akun dari aspek kredibilitas, integritas, dan akuntabilitasnya.
“Saya yakin hal tersebut akan sangat sulit dilakukan karena memang media sosial dilindungi aspek anonimitas, ” tekan Ruzza.
Baca juga:
Catatan Akhir Tahun KPK Menyongsong 2022
|
Namun demikian, Ruzza melanjutkan, dalam computational communication, data yang berasal dari media sosial dapat dijadikan bahan riset. Hal tersebut, sambungnya, dengan asumsi bahwa akun media sosial tidak merepresentasikan individu yang sesungguhnya.
“Satu akun itu bukan berarti bisa dianggap (milik, red) satu orang sehingga tidak bisa serta-merta digeneralisir bahwa konklusi dari media sosial itu merepresentasikan dunia nyata, ” tegasnya.
Pada akhir, Ruzza memaparkan adanya kemungkinan-kemungkinan dalam dunia media sosial, seperti pembuatan akun duplikat serta kesengajaan untuk mengutilisasi pasukan bot guna menggiring opini tertentu. Oleh karena itu, lanjutnya, untuk menghadapi hal tersebut diperlukan pemberlakuan random sampling yang berimbang di kedua spektrum diskursus dalam sebuah analisis data.
“Terkait dengan isu terkini, sebaiknya lebih hati hati dalam membuat klaim. Khususnya jika hanya menggunakan jargon-jargon populer yang kebenarannya belum tentu terbukti, ” pungkasnya.
Penulis: Agnes Ikandani
Editor: Nuri Hermawan