SURABAYA – Kesuksesan GoFood menjadi salah satu layanan pesan antar makanan terbesar di Indonesia tak lepas dari tingkat kepercayaan para pelanggan atas jasa yang mereka tawarkan. Soroti layanannya, dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) meneliti proses bisnis GoFood dan mengkaitkannya dengan kepercayaan atau trust.
Ialah Mahendrawathi Er PhD, dosen Departemen Sistem Informasi ITS yang menggunakan perluasan Trust Aware Process Design Meta-model gagasan Professor Michael Rosemann untuk mengidentifikasi masalah kepercayaan pada masukan (input), proses, sumber daya, dan luaran (output) pada operasi awal suatu perusahaan. “Kepercayaan menjadi elemen penting dalam merancang proses bisnis, terutama di dunia digitalisasi yang memiliki ketidakpastian, ” terangnya, Sabtu (4/3/2022).
Berdasarkan studi sekunder dari berbagai media, didapatkan hasil bahwa GoFood memiliki permasalahan waktu pengiriman yang tidak pasti dan tingkat pembatalan yang tinggi. Untuk mengatasi masalah tersebut, GoFood melalui induk perusahaannya, Gojek, melakukan rekrutmen pengemudi secara massal dan memanfaatkan dana investasi untuk menekan harga layanannya.
Selain itu, GoFood juga memperkenalkan GoResto, yang memungkinkan restoran mitra GoFood memperbarui informasi terkait jam buka, ketersediaan menu, dan harga makanan secara langsung. Hal tersebut merupakan manajemen katalog yang dapat mengurangi ketidakpastian dalam hal informasi. “Karena pedagang tidak lagi bergantung pada tim layanan pelanggan GoFood, ” papar perempuan yang akrab disapa Mahendra ini.
Perubahan lain yang diperkenalkan ialah pembayaran tanpa uang tunai, yaitu antara e-wallet pengemudi dengan e-wallet restoran mitra. Sistem pembayaran ini juga dilengkapi dengan fungsi menukar PIN yang dapat memverifikasi bahwa pengemudi mengambil pesanan yang benar dari outlet yang tepat.
Diagram tingkat kepercayaan pada proses bisnis GoFood di tahun 2015 (kiri) dan tingkat kepercayaan GoFood tahun 2019 (kanan) berdasarkan Trust Aware Process Design Meta-model.
Meskipun telah merekayasa dan mendesain ulang proses bisnisnya dari 2015 hingga 2019, ternyata GoFood masih menemui masalah lain seiring berjalannya waktu. Di mana, adanya waktu tunggu yang lama karena pesanan itu baru disiapkan setelah pengemudi tiba di restoran. “Sebagian waktu tunggu dihabiskan pengemudi untuk menunggu makanan disiapkan, ” ungkap perempuan asal Bali tersebut.
Tak hanya itu, masalah lain yang masih dirasakan ialah restoran mitra tidak selalu memperbarui ketersediaan produk mereka secara langsung. Dampaknya, menu yang kehabisan stok atau restoran tutup menyumbang lebih dari 35 persen pembatalan oleh pelanggan dan 75 persen dari semua pembatalan pengemudi.
Untuk mengurangi tingkat pembatalan dan waktu tunggu, pada tahun 2019 GoFood memperkenalkan perbaikan sistem lain dimana keputusan penerimaan pesanan diberikan kepada restoran mitra. Jika pesanan diterima, maka restoran dapat segera menyiapkan makanan. Di sisi lain, pada saat yang bersamaan akan ditugaskan seorang pengemudi untuk mengambil makanan tersebut.
Baca juga:
Gempa Magnitudo 4,0 Guncang Sumenep Hari Ini
|
Selain itu, GoFood juga memperkenalkan strategi untuk mengurangi ketidakpastian perilaku driver. Adapun strategi tersebut terdiri dari edukasi, sistem rating, pemberian tips hingga adanya templat percakapan driver dengan pelanggan.
Untuk meningkatkan kepercayaan pelanggan, GoFood juga memperkenalkan democratic trust atau kepercayaan demokratis dalam aplikasi mereka. Ketika pelanggan ingin memesan makanan tertentu, mereka dapat menggunakan fitur pencarian dan filter sesuai dengan peringkat yang diberikan oleh pelanggan sebelumnya.
Mahendara menjelaskan bahwa melalui langkah-langkah khusus tersebut, GoFood berhasil mengurangi ketidakpastian operasional, perilaku, dan persepsi pelanggan. “Hasilnya, layanan GoFood telah berkembang dan menjadi salah satu layanan terbesar dalam layanan pesan-antar makanan di Indonesia, ” papar alumnus Departemen Teknik Industri ITS tersebut.
Laman penjelasan proses bisnis GoFood dari website resmi Gojek yang digunakan sebagai data sekunder dalam penelitian.
Berdasarkan penelitian yang telah digarapnya sejak 2019 tersebut, Mahendra menyampaikan bahwa penting bagi perusahaan, terutama mereka yang mengarah ke digitalisasi, untuk terus memperbaiki proses bisnisnya. Yakni dengan memperhatikan elemen kepercayaan pelanggan sehingga muncul layanan terpercaya yang pada akhirnya bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan.
Hal ini juga berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki rancangan proses bisnis sebelumnya. Mahendra mengambil contoh yang terjadi saat penelitiannya memasuki proses publikasi, dimana terjadi insiden antara pengemudi ojek daring yang berseteru dengan gerai makanan di Yogyakarta. “Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan harus terus memperbaiki proses bisnisnya untuk meningkatkan kepercayaan pelanggan mereka, ” tegasnya.
Sedangkan bagi perusahaan yang sedang dan masih akan merancang proses bisnisnya, mereka dapat mengambil contoh dari strategi yang digunakan GoFood. Mulai dari pengelolaan ketidakpastian operasional, perilaku serta ketidakpastian yang dirasakan pelanggan, serta cara mengatasi kerentanan operasional dan meningkatkan kepercayaan diri pelanggan.
Kedepannya, perempuan yang menyelesaikan studi doktornya di University of Nottingham UK ini berharap akan lebih banyak kolaborasi yang baik antara akademisi, bisnis, dan juga pemerintah untuk mendukung karya lain yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas. “Perlu dicatat, penelitian ini kami lakukan dengan data sekunder dari publikasi terkait GoFood, sehingga hal pertama yang kami harapkan adalah bagaimana masukan serta pendapat dari perusahaan terkait, ” Mahendra menambahkan. (*)
Reporter: Raisa Zahra Fadila
Redaktur: Najla Lailin Nikmah